Energi terbarukan sedang ‘naik daun’ di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju. Gencarnya pemanfaatan energi terbarukan ini merupakan alternatif dari pemanfaatan energi konvensional yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca pemanasan global. Di Indonesia sendiri, sampai tahun 2020 penggunaan energi terbarukan baru mencapai 13% dari total bauran energi pembangkit listrik (PLN, 2021). Tidak heran jika masyarakat Indonesia masih awam terhadap energi terbarukan. Ada yang bilang mahal, ada juga yang bilang bahwa pemakaian energi terbarukan sama saja karena tetap mengeluarkan emisi. Jadi yang benar yang mana ya? Mari kita menguak stigma energi terbarukan berikut ini.

  • Energi terbarukan mahal

Kenyataanya, harga energi terbarukan bisa bersaing dengan energi konvensional. Biaya investasi pembangunan PLTU di tahun 2020 adalah 1.05-1.75 juta dolar/MW. Biaya investasi ini belum termasuk biaya operasional dan perawatan PLTU yang dikeluarkan secara rutin dan tergantung pada harga batu bara. Biaya listrik rata-rata PLTU adalah sekitar 0.05-0.08 dolar Amerika/KWh (Arinaldo dan Adiatma, 2019).

Sementara itu, biaya investasi energi terbarukan di tahun 2020 berkisar antara 0.7-4 juta dolar/MW tergantung dari sumber energinya. Namun, biaya rata-rata pembangkit listrik energi terbarukan lebih mahal dibandingkan PLTU, yaitu sekitar 0.05-0.16 dolar Amerika/KWh (IESR, 2019). Walaupun lebih mahal, pembangkit listrik energi terbarukan tidak membutuhkan biaya operasional yang besar karena tidak bergantung pada bahan bakar. 

  • Energi terbarukan merusak lingkungan

Banyak yang bilang kalau pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan membutuhkan lahan yang luas sehingga dapat mengalihkan fungsi tata guna lahan. Kekhawatiran ini biasanya ditujukan untuk pembangunan PLTS. Ternyata,  kita bisa lho membangun ladang panel surya di lahan bekas tambang maupun di atas waduk. Jadi, dengan membangun PLTS di tempat alternatif tersebut dapat mencegah peralihan tata guna lahan sekaligus mengurangi kerusakan ekosistem setempat. Sekarang, bagaimana untuk PLTS yang telah dirancang untuk dibangun di atas lahan? Tenang saja, pembangunan PLTS terlebih dahulu melewati AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) untuk mengurangi kerusakan lingkungan di lahan tersebut. Ini juga berlaku untuk pembangunan waduk PLTA dan eksplorasi panas bumi.

Kekhawatiran selanjutnya adalah pembangunan PLTB yang mengancam populasi burung dan kelelawar. Pada kenyataannya, teknologi baling-baling PLTB sekarang sudah diprogram untuk mempelajari pola migrasi burung dan kelelawar. Sehingga kematian burung dan kelelawar akibat terkena baling-baling PLTB diminimalisir.

  • Energi terbarukan susah diandalkan karena bergantung dengan cuaca

Bagaimana PLTS menghasilkan listrik jika cuaca sedang mendung? Bagaimana PLTB menghasilkan listrik jika tidak ada angin cuaca tidak berangin? Tenang, energi yang telah dihasilkan nantinya disimpan di dalam baterai. Jadi, tidak perlu khawatir akan kehabisan energi listrik saat cuaca tidak mendukung pembangkit untuk bekerja.

  • Karena Susah diandalkan, energi terbarukan tidak dapat memenuhi semua permintaan listrik negara

Faktanya, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar bahkan mampu untuk melistriki satu negara. Sebagai negara beriklim tropis, tentu potensi energi terbarukan terbesar di Indonesia adalah energi surya. Menurut studi IESR, potensi PLTS di Indonesia bisa mencapai 7,714.62 GWp (IESR, 2021)

  • Energi terbarukan tetap menghasilkan emisi

Memang benar pembangkit listrik energi terbarukan menghasilkan listrik. Akan tetapi, emisi yang dikeluarkan sangat jauh lebih sedikit daripada PLTU. Menurut Amponsah (2014), emisi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 2-300 g CO2/kWh tergantung dari teknologi pembangkitnya. Sementara itu, emisi yang dikeluarkan PLTU adalah 670-1120 kg CO2/MWh, berjuta-juta kali lipat dibandingkan emisi pembangkit listrik energi terbarukan. Bayangkan, jika kita menggantikan sebagian besar PLTU ke pembangkit listrik energi terbarukan, berapa banyak emisi yang bisa kita kurangi? Dengan mengurangi emisi sebanyak itu kita bisa mencegah pemanasan global agar tidak semakin parah.

Leave a Comment